Hanya berjarak tidak lebih 20 meter dari Jam Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat, terletak Pasar Atas yang menjadi surga bordir kerancang. Suguhan pemandangan mukena dan bahan kebaya, baju kurung, kerudung yang berbordir halus dan indah menyegarkan mata. Betapa kaya budaya Indonesia.
Pengrajin bordir Bukittinggi seolah sudah ditakdirkan untuk mempunyai talenta yang tidak dimiliki oleh pengrajin seni lain di Indonesia.
Saat itu jarum jam menunjukkan jam sembilan pagi. Suara tarikan rolling door para pemilik kios di lantai II Blok A, B dan C, yang khusus kios pengrajin bordir dan kerancang khas Bukittinggi, mulai bersahut-sahutan. Mereka mulai mengeluarkan manekin yang telah berbalut bahan bordir satu persatu. Manekin itu ditata di depan kios dengan apik untuk menarik para pembeli menengok bahan bordiran. Lantai jalan di depan kiospun tak lupa mereka sempatkan untuk dibersihkan.
Sapaan ramah dan tulus pemilik kios membuat kita serasa bertemu dengan saudara. Meski hanya melihat sekilas dan menanyakan warna, motif dan harga, mereka menjawab dengan penuh perhatian. Budaya keramahtamahan Minang masih sangat kental terasa di sini. “Masuk lah kak, tengok lah kak... “ dengan nada suara merendah menjadikan kita tenang dan kerasan berlama-lama di Pasar Atas.
Keinginan untuk membeli bahan kebaya kerancang mengarahkan mata untuk tertuju pada bahan kebaya bordir kerancang kios Tiffany, di Blok B Lantai II No. 52. Devi, pemilik kios, menyapa dengan tulus. Motif bahan kebaya kerancang Devi berbeda dengan kios lain.
Menurut Devi memang tidak ada motif yang sama di tiap-tiap kios, karena setiap kios mempunyai ‘anak jahit’ sendiri. Anak jahit merupakan istilah untuk tukang jahit bordir. Motif bordir kerancang Devi klasik, warna senada bahan namun terlihat berkelas.
Devi mempunyai 30 ‘anak jahit’ yang terletak di Desa Suliki, Payakumbuh, berjarak sekitar lima jam perjalanan dari Bukittinggi dengan angkutan umum. Devi yang menentukan disain bordir sedangkan suaminya membantu membelikan bahan kain yang biasanya dibeli di Pasar Aur Kuning.
Permintaan dari pembeli tidak sebanding dengan kecepatan pengrajin menyediakan bahan kerancang ini. Untuk membut satu bahan kebaya diperlukan waktu empat hari. Pembuatannya yang rumit dengan mesin jahit tangan yang membuat kerancang ini khas dibanding dengan bordir Tasikmalaya. Bordir kerancang dijahit langsung pada kain sedang kebanyakan bordir Tasikmalaya memakai bordir tempel dan sudah menggunakan komputer.
Pembeli bahan kebayanya cenderung pembeli lama yang memang sudah cocok seleranya dengan motif disain bordir Devi. Tak banyak sebenarnya pembeli yang datang ke kios Devi. Dia lebih banyak menerima order dari langganan di luar kota Padang, Jakarta, Depok, Palembang, Aceh dan bahkan luar negeri, seperti dari Malaysia via telepon.
Harga bahan kebaya bordir kerancang Devi tergolong relatif murah dengan motif dan disain yang detail. Selembar hanya dihargai Rp100 ribu. Bahan dan motif yang hampir mirip di kios Blok A bisa sampai 250 ribu.
Hal ini menurut Devi karena harga sewa kios di Blok A Rp20 juta pertahun sedangkan di Blok B sekitar Rp8 juta pertahun. Devipun mengaku karena kios ini miliknya, dan dia tidak mempekerjakan orang lain maka dia bisa menjual bahan bordirnya dengan harga sangat terjangkau.
Ketika ditanya berapa keuntungan, Devi hanya menjawab, '‘Alhamdulillah bisa menyekolahkan dua anak dengan baik dan mempunyai kios sendiri, mempunyai rumah di daerah IV Angkek, sekitar 10 km dari Pasar Atas.''
Di depan kios Tiffany, ada kios khusus mukena bordir kerancang halus, pemiliknya Sherly sibuk mengepak barang yang akan dikirim ke Palembang. Sama seperti yang dirasakan Devi, permintaan konsumen tidak bisa serta merta dipenuhi Sherly. Terutama dari Malaysia, yang biasanya bisa memesan sampai 100 helai mukena kerancang halus.
Tidak lama berbincang seputar bisnis mukenanya, telepon genggamnya berdering untuk permintaan order lagi dari Jakarta. Agak lama berbincang untuk memerikan waktu kesanggupan selesainya mukena yang dipesan menurut kesanggupan ‘anak jahit’nya.
Mukena Sherly dihargai antara Rp200 ribu sampai Rp1,8 juta. Harga yang benar-benar sebanding dengan hasil karyanya. Perlu waktu empat bulan untuk membuat mukena bordir kerancang seharga Rp1,8 juta.
Menurut Devi selepas Zhuhur sampai mau tutup menjelang Maghrib, biasanya toko akan ramai pembeli dari Pekanbaru, Padang, dan Malaysia. Mereka biasanya baru tiba di Bukittinggi sekitar waktu setelah Zhuhur.
Tidak terasa hampir satu setengah jam berlalu di kios mili Devi. Setumpuk bahan siap dibawa ke Jakarta. Keramahan Devi masih bisa dirasakan tatkala dia menawarkan bersedia menukar kembali bahan dengan warna lain yang cocok. Keramahtamahan yang tulus dan kepercayaan yang dibangun dengan pembeli yang membuat saya jatuh cinta dengan Pasar Atas Bukittinggi.
Eka Nugrahini Ciptawati (Humas Kemdikbud)
Peserta Bimbingan Teknis Bakohumas di Bukittinggi, 7-8 Mei 2013