.
Home » » Padang Literary Biennale 2014

Padang Literary Biennale 2014

Ditulih Unknown pado hari Kamis, 04 September 2014 | 21.34

A kingdom of words, adalah istilah untuk mewakili bangunan utama kebudayaan Minangkabau. Pertama kali diungkapkan oleh Jane Drakard, seorang peneliti sejarah, budaya, dan politik Melayu dari Monash University, Australia, yang kemudian menjadi literatur utama dalam membaca kebudayaan Minangkabau oleh berbagai kalangan. kemunculan defenisi ini didasari pada kemampuan masyarakat Minangkabau dalam menggunakan bahasa. Bahasa, bagi mereka, bukan hanya sebagai alat komunikasi semata, bahasa adalah basis masyarakat Minangkabau dalam menyelesaikan perkara, merumuskan suatu hal, sampai pada melaksanakan berbagai upacara adat.   

      Pada praktiknya, masyarakat Minangkabau cendrung memberi tempat bagi sesiapa yang lihai berbahasa, dan bagi yang tidak bertempat-tempat dalam menggunakannya akan tersisih sendiri dalam bermasyarakat. Mereka juga sangat peka terhadap kata-kata, paham dengan sindir, mengerti dengan metafora dan personifikasi. seperti yang diungkapkan oleh pepatah “kudo tahan lacuik, manusia tahan kieh” (kuda tahan lecut, manusia tahan kias) yang memposisikan bahasa sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial. 

     Dalam kesejarahannya, Minangkabau selaku sebuah puak (suku), memang dikenal sebagai kelompok yang mampu melakukan pertahanan politik kebudayaan melalui kata-kata. Masyarakat mempercayai Tambo sebagai sebuah kitab budaya, yang dengan kata-katanya, menjelaskan asal-usul datangnya nenek-moyang mereka dari tanah yang jauh hingga berkembang menjadi puak Minangkabau. 

     Masyarakat memegang teguh hukum adat, yang terdiri dari duabelas perkara, yang melalui tatanan bahasa dan kata-katanya mampu memberi keyakinan pada masyarakat bahwa pendahulu mereka telah menyusun hukum ketertiban jauh sebelum hukum-hukum kolonialisme yang kemudian berevolusi menjadi hukum negara Indonesia. Juga masyarakat Minangkabau memegang teguh ketetapan hukum penghulu, terdiri dari sepuluh perkara, sebagaimana penghulu dipercaya sebagai pimpinan tinggi sebuah kaum dan ketetapan hukum itu dipakai dan dipelihara di tiap-tiap nagari yang berada dalam garis batas kebudayaan Minangkabau. Meski beberapa nagari melakukan peneyesuaian terhadap hukum tersebut, tetapi hukum yang usali, yang dengan kata-katanya mampu menjadi semacam benteng kebudayaan kuat ketika percepatan perpaduan kebudayaan global masuk dan melakukan perpaduan dengan kebudayaan Minangkabau. 

    Dari perihal itu kita dapat mengambil kesimpulan bahwa istilah a kingdom of words yang pernah diungkapan Jane Drakard itu benar adanya. Kekuatan kata-kata merupakan sendi utama dalam peradaban kebudayaan Minangkabau, masyarakat tumbuh melalui kata-kata dan percaya bahwa bahasa mampu menjaga ketertiban sosial. Kata-kata telah mengambil alih fungsinya dalam segala lini, bangunan kebudayaan, seni tradisi, sistem pemerintahan, ekonomi, hukum, dst. 

     Sejarah bangsa Indonesia juga mencatat bahwa para pemikir, negarawan, politisi, dan sastrawan, yang muncul dan tumbuh dari kebudayaan Minangkabau sangatlah banyaknya, dan mereka tentu saja adalah orang-orang yang ulung dalam memakai bahasa. Untuk golongan yang disebut terkahir, para sastrawan, adalah yang paling diuntungkan dengan kebiasaan-kebiasaan ini. Sayarat utama menjadi seorang sastrawan yang hebat, yaitu menguasai bahasa dengan baik, telah mereka dapatkan dalam bermasyarakat. Hal ini sudah teruji, tidak hanya saat ini, Sumatra Barat yang menjadi daerah teritorial Minangkabau, adalah salah satu peta penting kesusastraan nasional sejak negara ini didirikan, dan terus melahirkan karya-karya bermutu yang mengorbitkan sastrawan-sastrawan penting pada setiap generasinya. 

      Dimulai dari karya legendaris Siti Nurbaya yang ditulis Marah Rusli, novel-novel fenomenal Abdul Moeis, Nur st Iskandar, Sutan Takdir Alisjahbana, yang menjadi pelopor kesusastraan modern Indonesia. Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin, tokoh sastra penting yang menentukan arah perkembangan kesusastraan negri ini. Kemudian ada Hamka, AA Navis, Wisran Hadi, Darman Moenir, Rusli Marzuki Saria, Haris Efendi Thahar, Taufiq Ismail, yang masing-masing dari mereka punya peran tersendiri sebagai sastrawan nasional. Lalu ada juga generasi muda yang masih dan sedang berkarya sampai saat ini seperti Gus tf Sakai, Yusrizal KW, Iyut Fitra, S Metron M, Anwar Fuadi, Esha Tegar Putra, Zelfeni Wimra, Deddy Arsya, Heru Joni Putra, Fariq Alfaruqi, dst. 

      Generasi mutakhir sastrawan Sumatra Barat saat ini bahkan memperlihatkan gairah yng mencolok dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia. Hampir setiap pekan karya-karya mereka terbit di halaman-halaman sastra media-media nasional yang menjadi patron penerbitan karya sastra terkemuka di Indonesia. Sebut saja halaman sastra Koran Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, dan berbagai media lainnya. Sastrawan muda tersebut juga tidak pernah absen dalam perhelatan sastra di tingkat nasional dan internasional. Even-even seperti Ubud Writers & Readers Festival, Korean-Asean Poets Literary, Salihara International Literary Biennale, Makassar International Writers Festival, Temu Sastrawan Indonesia (TSI 1,2,3 dan 4) atau Pertemuan Penyair Nusantara (PPN 1,2,3…dst). Ada juga penghargaan-penghargaan sastra semacam SEA Write Award dari kerajaan Thailand, Penghargaan Balai Bahasa Nasional, penghargaan Karya Terbaik Khatulistiwa Literary Award, sastrawan pilihan Majalah Tempo, dst. 

       Berdasarkan analisa dan fakta-fakta tersebut, bisa kita tarik sebuah pemahaman bahwa masyarakat minangkabau adalah masyarakat yang berpedoman kepada kata-kata, atau yang diistilahkan Jane Drakard sebagai Kerajaan Kata-Kata. Kemudian implementasi yang paling konkret dari kefasihan masyarakat dalam berbahasa tersebut adalah melalui karya-karya sastra, tentu hal ini sebenarnya adalah kekuatan masyarakat Minangkabau untuk tampil di pentas nasional dan internasional. 

        Dengan bermodalkan nama-nama besar sastrawan Sumatra Barat mutakhir serta banyaknya penulis-penulis klasik yang lahir dan tumbuh di Sumatra Barat, juga didukung dengan iklim kepenulisan yang baik, Sumatra Barat sudah pantas menjadi salah satu kunjungan sastra bagi masyarakat dunia. Jika orang ingin mengetahui sebagaian besar sejarah kesusastraan Indonesia, tempat pertama yang mesti dikunjungi adalah Sumatra Barat. 

         Salah satu kegiatan penting yang mesti ada demi terwujudnya sastra sebagai salah satu konsep dan ikon Sumatra Barat adalah dengan terlaksananya sebuah eventkesusastraan bergengsi, yang bisa memfasilitasi pembaca, pengunjung, pelancong, dan juga penulis-penulis Indonesia untuk memperkenalkan karya-karya mereka. 

       Untuk itulah, dengan mengamati, mempelajari dan mengadaptasi beberapa festival kesusasteraan terkemuka yang ada di mancanegara, seperti International Literary Festival Winternachten di Den Haag, Korean Asean Literary Festival, Ubud Writers & Readers Festival, Salihara Internasional Literary Festival. Konsep PADANG LITERARY BIENNALE 2014 pun digarap, dan siap untuk diimplementasikan. eventkesusastraan yang pertama kali muncul pada tahun 2012 ini, dengan judul Padang Literary Biennale 2012, akan segera dilaksanakan pada tahun ini. Untuk mengedepankan konsep masyarakat Minangkabau yang tidak bisa dilepaskan dari bahasa, PADANG LITERARY BIENNALE 2014 akan diikat dengan tema“KURENAH KATO” yang secara sederhana memiliki arti tingkah laku kata. 

 NAMA & TEMA KEGIATAN 
Nama kegiatan adalah PADANG LITERARY BIENNALE 2014 dengan mengusung tema “KURENAH KATO” (Kato Puisi Kato Manyimpan, Kato Curito Kato Mangabaan ). Kurenah kato adalah sebuah konsep pembelajaran kato (kata) di Minangkabau. pengertiannya secara sederhana adalah tingkah laku kata-kata yang mengarah pada etika psikologis. Kurenah kato ini dalam filosofinya dekat dengan penciptaan karya sastra yang sifatnya estetik dan psikologik. 

 KONSEP KEGIATAN& BENTUK KEGIATAN 
 9 (sembilan) sastrawan terkemuka dari seluruh Indonesia, meliputi penyair, cerpenis, dan novelis, akan diundang untuk melaksanakan berbagai kegiatan kesusastraan selama acara PADANG LITERARY BEINNALE 2014 berlansung. Pemilihan sastrawan tersebut didasarkan pada sistem kuratorial, dengan kriteria-kriteria tertentu, yaitu, kualitas karya, distribusi karya, dan kontribusi mereka dalam perkembangan kesusastraan Indonesia.


Share this article :
Komentar
0 Komentar

0 komentar :

Posting Komentar

.