A kingdom of words, adalah istilah untuk mewakili bangunan
utama kebudayaan Minangkabau. Pertama kali diungkapkan oleh Jane Drakard,
seorang peneliti sejarah, budaya, dan politik Melayu dari Monash University,
Australia, yang kemudian menjadi literatur utama dalam membaca kebudayaan
Minangkabau oleh berbagai kalangan. kemunculan defenisi ini didasari pada
kemampuan masyarakat Minangkabau dalam menggunakan bahasa. Bahasa, bagi mereka,
bukan hanya sebagai alat komunikasi semata, bahasa adalah basis masyarakat
Minangkabau dalam menyelesaikan perkara, merumuskan suatu hal, sampai pada
melaksanakan berbagai upacara adat.
Pada praktiknya, masyarakat
Minangkabau cendrung memberi tempat bagi sesiapa yang lihai berbahasa, dan bagi
yang tidak bertempat-tempat dalam menggunakannya akan tersisih sendiri dalam
bermasyarakat. Mereka juga sangat peka terhadap kata-kata, paham dengan sindir,
mengerti dengan metafora dan personifikasi. seperti yang diungkapkan oleh
pepatah “kudo tahan lacuik, manusia tahan kieh” (kuda tahan lecut, manusia
tahan kias) yang memposisikan bahasa sebagai alat untuk melakukan kontrol
sosial.
Dalam kesejarahannya, Minangkabau
selaku sebuah puak (suku), memang dikenal sebagai kelompok yang mampu melakukan
pertahanan politik kebudayaan melalui kata-kata. Masyarakat mempercayai Tambo
sebagai sebuah kitab budaya, yang dengan kata-katanya, menjelaskan asal-usul
datangnya nenek-moyang mereka dari tanah yang jauh hingga berkembang menjadi
puak Minangkabau.
Masyarakat memegang teguh hukum
adat, yang terdiri dari duabelas perkara, yang melalui tatanan bahasa dan
kata-katanya mampu memberi keyakinan pada masyarakat bahwa pendahulu mereka
telah menyusun hukum ketertiban jauh sebelum hukum-hukum kolonialisme yang
kemudian berevolusi menjadi hukum negara Indonesia. Juga masyarakat Minangkabau
memegang teguh ketetapan hukum penghulu, terdiri dari sepuluh perkara,
sebagaimana penghulu dipercaya sebagai pimpinan tinggi sebuah kaum dan
ketetapan hukum itu dipakai dan dipelihara di tiap-tiap nagari yang berada
dalam garis batas kebudayaan Minangkabau. Meski beberapa nagari melakukan
peneyesuaian terhadap hukum tersebut, tetapi hukum yang usali, yang dengan
kata-katanya mampu menjadi semacam benteng kebudayaan kuat ketika percepatan
perpaduan kebudayaan global masuk dan melakukan perpaduan dengan kebudayaan
Minangkabau.
Dari perihal itu kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa istilah a kingdom of words yang pernah diungkapan Jane Drakard
itu benar adanya. Kekuatan kata-kata merupakan sendi utama dalam peradaban
kebudayaan Minangkabau, masyarakat tumbuh melalui kata-kata dan percaya bahwa
bahasa mampu menjaga ketertiban sosial. Kata-kata telah mengambil alih
fungsinya dalam segala lini, bangunan kebudayaan, seni tradisi, sistem
pemerintahan, ekonomi, hukum, dst.
Sejarah bangsa Indonesia juga
mencatat bahwa para pemikir, negarawan, politisi, dan sastrawan, yang muncul
dan tumbuh dari kebudayaan Minangkabau sangatlah banyaknya, dan mereka tentu
saja adalah orang-orang yang ulung dalam memakai bahasa. Untuk golongan yang
disebut terkahir, para sastrawan, adalah yang paling diuntungkan dengan
kebiasaan-kebiasaan ini. Sayarat utama menjadi seorang sastrawan yang hebat,
yaitu menguasai bahasa dengan baik, telah mereka dapatkan dalam bermasyarakat.
Hal ini sudah teruji, tidak hanya saat ini, Sumatra Barat yang menjadi daerah
teritorial Minangkabau, adalah salah satu peta penting kesusastraan nasional
sejak negara ini didirikan, dan terus melahirkan karya-karya bermutu yang
mengorbitkan sastrawan-sastrawan penting pada setiap generasinya.
Dimulai dari karya legendaris
Siti Nurbaya yang ditulis Marah Rusli, novel-novel fenomenal Abdul Moeis, Nur
st Iskandar, Sutan Takdir Alisjahbana, yang menjadi pelopor kesusastraan modern
Indonesia. Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin, tokoh sastra penting yang
menentukan arah perkembangan kesusastraan negri ini. Kemudian ada Hamka, AA
Navis, Wisran Hadi, Darman Moenir, Rusli Marzuki Saria, Haris Efendi Thahar,
Taufiq Ismail, yang masing-masing dari mereka punya peran tersendiri sebagai
sastrawan nasional. Lalu ada juga generasi muda yang masih dan sedang berkarya sampai
saat ini seperti Gus tf Sakai, Yusrizal KW, Iyut Fitra, S Metron M, Anwar
Fuadi, Esha Tegar Putra, Zelfeni Wimra, Deddy Arsya, Heru Joni Putra, Fariq
Alfaruqi, dst.
Generasi mutakhir sastrawan
Sumatra Barat saat ini bahkan memperlihatkan gairah yng mencolok dibandingkan
daerah-daerah lain di Indonesia. Hampir setiap pekan karya-karya mereka terbit
di halaman-halaman sastra media-media nasional yang menjadi patron penerbitan
karya sastra terkemuka di Indonesia. Sebut saja halaman sastra Koran Kompas,
Koran Tempo, Media Indonesia, dan berbagai media lainnya. Sastrawan muda
tersebut juga tidak pernah absen dalam perhelatan sastra di tingkat nasional
dan internasional. Even-even seperti Ubud Writers & Readers Festival,
Korean-Asean Poets Literary, Salihara International Literary Biennale, Makassar
International Writers Festival, Temu Sastrawan Indonesia (TSI 1,2,3 dan 4) atau
Pertemuan Penyair Nusantara (PPN 1,2,3…dst). Ada juga penghargaan-penghargaan
sastra semacam SEA Write Award dari kerajaan Thailand, Penghargaan Balai Bahasa
Nasional, penghargaan Karya Terbaik Khatulistiwa Literary Award, sastrawan
pilihan Majalah Tempo, dst.
Berdasarkan analisa dan
fakta-fakta tersebut, bisa kita tarik sebuah pemahaman bahwa masyarakat
minangkabau adalah masyarakat yang berpedoman kepada kata-kata, atau yang
diistilahkan Jane Drakard sebagai Kerajaan Kata-Kata. Kemudian implementasi
yang paling konkret dari kefasihan masyarakat dalam berbahasa tersebut adalah
melalui karya-karya sastra, tentu hal ini sebenarnya adalah kekuatan masyarakat
Minangkabau untuk tampil di pentas nasional dan internasional.
Dengan
bermodalkan nama-nama besar sastrawan Sumatra Barat mutakhir serta banyaknya
penulis-penulis klasik yang lahir dan tumbuh di Sumatra Barat, juga didukung
dengan iklim kepenulisan yang baik, Sumatra Barat sudah pantas menjadi salah
satu kunjungan sastra bagi masyarakat dunia. Jika orang ingin mengetahui
sebagaian besar sejarah kesusastraan Indonesia, tempat pertama yang mesti
dikunjungi adalah Sumatra Barat.
Salah satu
kegiatan penting yang mesti ada demi terwujudnya sastra sebagai salah satu
konsep dan ikon Sumatra Barat adalah dengan terlaksananya sebuah
eventkesusastraan bergengsi, yang bisa memfasilitasi pembaca, pengunjung,
pelancong, dan juga penulis-penulis Indonesia untuk memperkenalkan karya-karya
mereka.
Untuk itulah, dengan
mengamati, mempelajari dan mengadaptasi beberapa festival kesusasteraan
terkemuka yang ada di mancanegara, seperti International Literary Festival
Winternachten di Den Haag, Korean Asean Literary Festival, Ubud Writers &
Readers Festival, Salihara Internasional Literary Festival. Konsep PADANG
LITERARY BIENNALE 2014 pun digarap, dan siap untuk
diimplementasikan. eventkesusastraan yang pertama kali muncul pada tahun
2012 ini, dengan judul Padang Literary Biennale 2012, akan segera dilaksanakan
pada tahun ini. Untuk mengedepankan konsep masyarakat Minangkabau yang tidak
bisa dilepaskan dari bahasa, PADANG LITERARY BIENNALE 2014 akan
diikat dengan tema“KURENAH KATO” yang secara sederhana memiliki arti
tingkah laku kata.
NAMA & TEMA KEGIATAN
Nama kegiatan adalah PADANG LITERARY BIENNALE 2014 dengan
mengusung tema “KURENAH KATO” (Kato Puisi Kato Manyimpan, Kato Curito
Kato Mangabaan ). Kurenah kato adalah sebuah konsep pembelajaran kato
(kata) di Minangkabau. pengertiannya secara sederhana adalah tingkah laku
kata-kata yang mengarah pada etika psikologis. Kurenah kato ini dalam
filosofinya dekat dengan penciptaan karya sastra yang sifatnya estetik dan
psikologik.
KONSEP KEGIATAN& BENTUK KEGIATAN
9 (sembilan) sastrawan terkemuka dari seluruh
Indonesia, meliputi penyair, cerpenis, dan novelis, akan diundang untuk
melaksanakan berbagai kegiatan kesusastraan selama acara PADANG LITERARY
BEINNALE 2014 berlansung. Pemilihan sastrawan tersebut didasarkan pada
sistem kuratorial, dengan kriteria-kriteria tertentu, yaitu, kualitas karya,
distribusi karya, dan kontribusi mereka dalam perkembangan kesusastraan
Indonesia.