Menurut Tambo, nenek moyang orang Minang pertama kali menetap di lereng Gunung Marapi. Seperti dikatakan mamangan adat “Dari ma titiak palito, dari telong nan batali, dari ma asa niniak kito, dari lereang Gunuang Marapi”.
Kemudian mereka berpindah ke bagian bawahnya, ke Pariangan. Di situ didirikan kerajaan pertama bernama Kerajaan Koto Batu dengan raja Sri Sultan Maharajo Dirajo.
Setelah wafat, Sri Sultan digantikan oleh Datuak Suri Dirajo, seorang pangulu yang diangkat ketika Sultan masih hidup. Semasa Suri Dirajo, Kerajaan Koto Batu berganti dengan Kerajaan Dusun Tuo yang dipimpin oleh kemenakannya duo tokoh peletak dasar adat alam Minangkabau yakni Panduko Sutan bergelar Datuak Katumanggungan dan Sutan Balun bergelar Datuak Parpatiah Nan Sabatang.
Keduanya anak Puti Indo Jalito tapi berlainan ayah. Katumanggungan adalah anak Indo Jolito dari hasil perkawinan dengan Sri Maharajo Dirajo. Sedangkan Parpatiah Nan Sabatang merupakan anak hasil perkawinan Indo Jolito dengan Cati Bilang Pandai. Pusat Kerajaan kedua itu di Dusun Tuo Limo Kaum.
Sebab dinamai Limo Kaum karena di nagari itu terdapat lima kaum. Kelima kaum itu adalah, Kaum Dusun Tuo nan 4 Batua, Balai Batu Nan 5 Suku, Kampai III Tumpuak, Balai Labuah 6 Suku dan Kaum Kubu Rajo 3 Sandiang.
Sampai kini situs budaya berkaitan dengan tambo dan sejarah banyak terdapat di nagari tersebut. Seperti Batu Batikam, Batu Basurek Kubu Rajo dan Masjid Raya Limo Kaum. Situs budaya tersebut merupakan objek wisata menarik di Luhak Nan Tuo, Kabupaten Tanah Datar.
Ke semua situs budaya itu juga mudah djangkau karena terletak di pinggiran jalan Batusangkar-Padang. Batu Batikam di Jorong Dusun Tuo, terletak persis di pinggir jalan, di bawah sebatang pohon beringin besar. Tempat ini dahulu merupakan medan nan bapaneh tempat rapat para petinggi adat.
Batu Batikam berbentuk batu segi tiga dengan ukuran 55x20x45 cm. Pada bagian tengahnya berlubang seperti ditembus pisau. Menurut tambo dahulu terjadi persilisihan antara Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang akibat perbedaan pendapat mengenai sistem pemerintahan dan pembagian wilayah.
Dalam perselisihan itu keduanya saling menunjukkan kesaktian masing-masing dengan menikam batu. Datuak Katumanggungan menikamkan tongkat Jinawi Aluihnya ke sebuah batu yang membuat batu tersebut berlubang. Begitupun Datuak Parpatiah yang menikamkan keris Balangkuak ke sebuah batu yang lain sehingga batu itu tembus pula.
Karena itu batu batikam Limo Kaum sebenarnya dua buah. Tetapi yang dipajang pada lokasi situs budaya sekarang adalah batu batikam yang ditikam Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Sedangkan batu batikam yang ditikam Datuak Katumanggungan di simpan di sebuah rumah warga setempat. Kenapa disimpan? Apakah karena masyarakat setempat tidak memakai adat Datuak Katumanggungan? Warga setempat mengatakan tidak mengetahui penyebabnya.
Tetapi yang jelas adat yang dipakai di Nagari Limo Kaum memang adat versi Bodi Caniago Datuak Katumanggungan dengan susunan masyarakat demokratis, dengan falsafah “duduak samo randah tagak samo tinggi, duduak sahamparan tagak sapamatang”.
Diceritakan orang tua-tua setempat, sejak peristiwa penikaman batu oleh kedua tokoh adat Minangkabau itu, perselisihan antar keduanya berakhir. Keduanya kemudian berbagi wilayah dan menyusun adat dengan versi masing-masing, yang sampai sekarang kedua adat itu dikenal dengan adat Koto Piliang Datuak Katumanggungan yang bersistem hirarkis, “bajanjang naiak batanggo turun” dan Adat Bodi Caniago Datuak Parpatiah yang demokratis egaliter.
harianhaluan.com