Apa yang paling dinanti masyarakat ketika Ramadhan datang? Shalat Tarawih ke masjid? Atau membeli pabukoan yang beraneka ragam di pasar-pasar pabukoan?
Pertanyaan ini sering menghantui pemikiran. Jika dibawakan ke diri pribadi, semuanya menggoda. Malam pertama tarawih dan mencicipi segala hidangan pabukoan. Tapi apakah seperti itu hakikat Ramadhan?
Ada persamaan antara Ramadhan dengan pergi berhelat (pesta). mengapa demikian? karena jika diperhatikan setiap tahun, biasanya di awal Ramadhan terutama sepuluh hari pertama puasa, semua masjid penuh dengan jamaah, baik laki-laki atau perempuan, dari kakek-kakek sampai anak-anak semua pergi ke masjid.
Bahkan wajah-wajah yang jarang nampak pun terlihat saat itu. Sangkin banyaknya, malah jemaah sampai meluap ke teras mesjid. sungguh pemandangan yang menabjubkan dan jarang ditemukan pada bulan-bulan sebelum Ramadhan.
Namun hal ini tidak bertahan lama, di saat-saat terakhir, keadaan kembali seperti semula, masjid-masjid kembali sepi tinggallah beberapa pengurus dan para kaum tua.
Nampaknya, keadaan ini tidak berbeda jauh dengan pergi barhelat (pesta), di awal pesta begitu banyak tamu yang datang, sehingga ruangan penuh sesak dan tuan rumah tampak sangat sibuk melayani tamu yang hadir, tapi di saat-saat akhir acara, ruangan kembali sepi.
Satu-persatu undangan pergi meninggalkan lokasi dan kembali sibuk dengan aktivitas semula yang tinggal hanya beberapa orang dan sibuk membersihkan piring dan sisa makanan.
Jika diperhatikan sebelas bulan sebelum Ramadhan, hampir di setiap masjid dan mushala, satu shaf pun tidak penuh diisi jemaah yang shalat.
Begitu bulan puasa menghampiri semua orang ramai pergi ke masjid. Apakah ini bentuk dari Ramadhan yang sesungguhnya? Atau, apakah Ramadhan hanya sebatas ritual musiman yang diikuti saat diawal saja?
Hal inilah yang jadi renungan bagi kita. Ramadhan yang dirindukan setiap muslim yang beriman di seluruh dunia ternyata hanya berupa ibadah latah di awal bulan. Jika menengok ke belakang banyak dosa yang kita lakukan, selama sebelas bulan di luar Ramadhan, kita terlalu disibukkan dengan ritual keseharian, seperti sesuatu yang hanya bersifat duniawi semata.
Banyak kita perhatikan orang yang shalat ketika Ramadhan tiba. Banyak di antara saudara kita, khususnya kaum wanita yang menutup aurat hanya di bulan ramadhan saja. Setelah itu, mereka kembali seperti semula, tak ubahnya dengan kondisi di perhelatan, semua tampak indah dan mempesona sesaat.
Ternyata Ramadhan tidak lebih dari suasana perhelatan semata. Ramadhan yang semestinya bisa kita jadikan sebagai bulan training diri untuk menjadi lebih baik, akhirnya terlewati, pergi tanpa bekas.
Di masjid, kita sering mendengar nasihat agama dari para khatib tentang keutamaan Ramadhan. Namun hanya sedikit kita yang menyadari akan keutamaannya.
Sedangkan para pemuda dan para remaja, masih saja enggan berlelah dan menyibukan diri untuk ibadah. Pikiran dan hati banyak dilenakan dengan berbagai macam permainan serta hiburan.
Akhirnya banyak yang lupa waktu, sehingga kesempatan beribadah sebanyak mungkin di bulan ramadhan pun berlalu. Kenapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya ya karena Ramadhan tidak lebih dari hanya sekedar baralek.
Ada perintah agama di Ramadhan, salah satunya memperbanyak sedekah kepada kaum yang papa. Tujuannya, agar mereka merasakan nikmatnya ketika berbuka dengan beberapa pengganan kecil.
Ramadhan ajang latihan mengendalikan diri, agar terhindar dari segala prilaku sia-sia. Artinya di bulan yang penuh berkah inilah kita diperintahkan menahan segala bentuk hawa nafsu, dan bertobat atas segala dosa-dosa yang kita perbuat.
Kita diperintahkan meningkatkan amal kebajikan sehingga setelah Ramadhan, kita bisa menjadi lebih baik yang senantiasa mendekatkan diri kepada Allah.
Novi Rosdiana (Guru Diniyyah Puteri Padang Panjang)
hariansinggalang.co.id