Home
»
Kuliner
,
Lamang
,
minang
,
Sumatera Barat
,
Sumbar
»
Lamang, Kudapan Populer di Ranah Minang
Lamang, Kudapan Populer di Ranah Minang
Ditulih Unknown pado hari Minggu, 05 Agustus 2012 | 14.51
Lamang merupakan salah satu kudapan populer di Ranah Minang (Sumatra Barat) selama bulan suci Ramadan. Gampang ditemui di pasar tradisonal, sehingga keberadaan lamang selalu menjadi bagian hidangan berbuka di hampir tiap rumah tangga di Minangkabau.
Biasanya, lamang dikonsumsi sehabis shalat tarawih. Sebab, lamang bemuatan karbohidrat layaknya nasi, dianggap alternatif tepat untuk menjaga ritme perut agar tetap terisi hingga sebelum sahur.
Lamang terbuat dari beras ketan bercampur santan. Kaloborasi ini dituangkan kedalam bambu yang sudah dilapisi daun pisang. Cukup dilakukan pengapian selama dua jam, percampuran itu akan menciptakan lamang.
Lamang identik sebagai tradisi dalam ruang hidup di Minangkabau. Tradisi itu disebut dengan Malamang. Tak ada yang tahu pasti kapan penganan ini mulai muncul di Minang.
Tradisi ini dapat ditemui hampir di seluruh wilayah Minangkabau baik di daerah darek (darat), seperti Tanah Datar, Solok, Agam, Bukitinggi, 50 Kota Payakumbuh, maupun di daerah pesisir pantai ; Padang, Pariaman dan Pesisir Selatan.
Saat bulan puasa Ramadan ini, lamang juga dengan mudah ditemui di pasar tradisional maupun pasar berbuka musiman (pasar pabukoan).
"Saat bulan Puasa Ramadan, lamang dengan mudah bisa ditemui dijalanan di Kota Padang," ujar Maiyulisma, 38, seorang pembuat lemang tapai.
Selain itu, lamang bisa ditemui diberbagai restoran yang ada di berbagai daerah di Minangkabau.
Untuk harga cukup bervariatif. Lamang yang memiliki panjang 70 sentimeter/ batang, biasanya dijual dengan harga Rp25 ribu per batang. Selain perbatang, lamang juga dapat dibeli per potong. Harganya mulai dari Rp5 ribu hingga Rp10 ribu per potong.
Lamang bukan hanya sebuah penganan pemuas lambung, tapi ada nilai-nilai komunal dalam proses pembuatannya. Sebab itu kebersamaan dan kehangatan terjalin erat ditengah budaya individualistik yang kian menjamur.
Untuk konteks, lamang sebagai kudapan berbagai ritual dalam Islam, pengerjaannya dilakukan secara berjamaah. Dalam bulan puasa ini, lamang menjadi kudapan favorit dalam ritual seperti, shalat 40, peringatan Nuzulul Quran, acara MTQ, dan ibadah suluk yang dilakukan tarekat tertentu.
Semuanya dikerjakan secara swadaya. Untuk urusan bahan pembuatan seperti beras ketan dan kelapa, semuanya juga tanpa dibeli, tapi mengandalkan sumbangan tiap individu.
Tradisi malamang yang telah berkembang secara turun temurun di Ranah Minang, dilakukan dengan budaya badoncek. Suatu budaya saling mengisi atau patungan.
Bagi yang punya beras ketan menyumbang beras ketan, bagi yang memiliki kelapa, menyumbang kelapa, bagi yang memiliki ekonomi menengah atas tapi tak punya bahan, cukup menyumbang uang semampunya. Sedangkan bagi kaum miskin, bisa berpartisipasi dengan cara menyumbang tenaga. Semuanya ingin terlibat karena merasa badunsanak (hubungan kekeluargaan).
"Bagusnya dikerjakan secara bersama, minimal tiga orang karena akan merasakan kebersamaan dan memudahkan untuk membuatnya,? ungkap Ketua RT
02/IV Kelurahan Parak Laweh Teti.
Menurutnya, syarat utama pembuatan lamang adalah bambu, beras ketan, kelapa, daun pisang, garam, dan kayu api.
Persiapan awal, Teti menjelaskan, bambu (buluh) muda berdiameter 5 hingga 10 sentimeter dipotong dengan panjang 50 sentimeter hingga 80 sentimeter. Panjangnya juga dicocokkan dengan ruas bambu tersebut. Kemudian, pucuk daun pisang dibalutkan didalam bambu itu.
Disamping itu, beras ketan direndam sekitar 2 jam didalam sebuah wajan. Beras ketan yang disebut dengan sipuluik tersebut dicuci, dan setelah 2 jam dikeringkan.
Disamping itu, kelapa diparut agar menghasilkan santan yang kental. Kemudian santan yang kental ini disiramkan ke sipuluik secukupnya. Setelah semuanya dilakukan, adonan tersebut dimasukkan kedalam buluh yang telah dibalut dengan pucuk daun pisang. Sedangkan garam, ditabur seperlunya.
Sehabis itu, buluh yang telah berisi sipuluik dengan adonan santan kental tersebut dibakar selama lebih kurang empat jam. "Apinya juga harus terjaga. Kalau awal pembakaran, apinya harus besar, tapi kalau sudah lama dibakar dan bambu mulai menghitam, apinya harus
diperkecil. Pembakarannya harus dengan kayu bakar,? terang Rina, warga Parak Laweh.
Dia menambahkan, untuk sebatang lamang, menghabiskan biaya sekitar Rp50 ribu. "Hal ini karena harga beras ketan cukup mahal, sekitar Rp20 ribu pergantang," ujarnya
Media Indonesia . com
0 Komentar